Wednesday, October 22, 2008

Hatiku Hilang!

Hari itu hari istimewa sekaligus menyedihkan. Tunanganku menghampiriku di hari perpisahan kami. Ya, kami harus berpisah hari ini, aku harus pergi ke negeri yang jauh, jauh dari rumah yang telah kami rancangkan sebagai rumah masa depan kami berdua. Aku sedih dan takut, aku tidak rela berpisah dengan kekasihku, tapi kami berjanji akan bertemu kembali. Dan pada saat itu aku akan menjadi pengantinnya.

Supaya aku tetap mengingatnya dan tetap mengingat janji kami, ia memberiku suatu benda yang sangat berharga, sebuah hati.

Sejujurnya, aku tidak mengerti mengapa ia menyebutnya berharga. Benda itu tidak berkilau seindah permata dan juga tidak sehalus sutra. Benda itu kelihatan lembek, rapuh, biasa saja, namun terlindungi oleh kain putih miliknya. Ia bilang aku boleh menggunakannya sesuai kebutuhanku di negeri asing nanti tapi aku harus selalu menjaganya. Aku tidak mengerti, tapi karena kekasihku bilang begitu, aku percaya saja.

Akupun pergi ke negeri yang jauh, yang sungguh membuatku merasa asing dan sendirian. Aku tidak punya kawan apalagi sahabat. Aku merasa rakyat negeri ini berbeda dan aku tahu mereka juga merasa aku berbeda, bahkan sepertinya mereka membenciku. Aku sedih dan kesepian. Hanya hati hadiah dari kekasihku yang selalu membuatku terhibur, membuatku teringat akan negeri asalku dan tentunya kekasihku.

satu tahun...dua tahun... tiga tahun...
Lama-kelamaan aku semakin menyesuaikan diri dengan rakyat di negeri asing ini. Ternyata mereka tidak seburuk yang aku sangka.
Anehnya, ketika aku mengingat kekasihku, ia malah terasa semakin jauh. Tapi...ya sudah, apa mau dikata. Waktu bertemu kami toh masih lama. Aku harus pandai-pandai menyesuaikan diri di negeri yang baru ini.

empat tahun...lima tahun...enam tahun...
Aku memiliki banyak kawan dan sahabat. Aku semakin merasa aku tidak berbeda dengan mereka. Aku merasa makin nyaman dan hampir tidak ingin pulang. Aku ingat kekasihku, aku ingat janji pernikahan kami, tapi aku hampir tidak peduli. Aku tidak yakin lagi kami akan bisa bertemu lagi. Sudah terlalu lama dan ternyata negeri asing ini cukup menyenangkan juga.

Lalu tiba-tiba hari itu datang. Kekasihku datang!

Ia datang dengan senyum, menghampiriku.
'Pengantinku, aku datang menjemputmu."
Aku terpaku, tidak menyangka ia datang secepat ini. Dan dalam sekejap mata, aku teringat sesuatu. HATIKU!

Ya ampun! Sudah lewat begitu lama! Di mana kutaruh hatiku? Kekasihku pasti akan segera menanyakan keberadaan benda berharga itu.
Ah, kekasihku tak boleh sampai tahu. Aku harus menemukannya terlebih dahulu.
'Kekasihku, akhirnya kau datang menjemputku. Tapi ada sesuatu yang harus aku urus terlebih dahulu sebelum pulang bersamamu.'
Aku segera berlari menjauhi kekasihku.

Di mana hatiku? Aku betul-betul lupa.
Mungkin di bawah ranjangku yang nyaman? Ya, aku pernah menyimpannya di sana karena sangat nyaman, kukira pasti aman. Mmm tidak ada.
Mungkin di dalam folder-folder penuh data di laptopku? Aku pernah menaruh hatiku dalam data-data pekerjaan kantorku. Kupikir itu investasi yang sepadan.
Mmm tidak ada.
Mungkin di dalam buaian orangtuaku di negeri asing ini. Mereka selalu melindungiku, jadi sempat kuserahkan hatiku pada mereka. Mmm tidak ada.
Mungkin ada di dalam pelukan pacar baruku? (Kekasihku memang menganjurkan aku punya pendamping sepadan selama ada di negeri asing) Pacarku selalu menjaga dan menyayangiku (kupikir begitu). Mmm tidak ada.

Ah ini dia! Akhirnya kutemukan hatiku di pojok rumahku. Penuh debu, tapi kain putih yang melindunginya masih utuh. Aku membukanya.
Di situ ada hati yang obesitas karena terlalu nyaman di tempat tidur dan ruang-ruang nyaman lainnya. Hati itu juga penuh virus komputer dan ambisi merajalela dari pekerjaanku. Hati itu terluka oleh tuntutan orangtua yang kurang masuk akal. Juga kotor oleh hasrat seksual pacar yang tidak mengerti betapa berharganya hati itu.

Aku berusaha memperbaikinya tapi tidak bisa dan ternyata kekasihku terlanjur melihat perbuatanku.

Ia menitikkan air mata. Aku menitikkan air mata.
Bagaimana mungkin benda yang begitu berharga bagi kekasihku, kuserahkan pada tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak mengerti harganya?

Tapi kekasihku mengambil hatiku dan memperbaikinya dengan penuh kelembutan sambil mengingatkanku
'Hati ini seharusnya jadi milikku, kekasihku'

Maafkan aku, kekasihku.

Betty lelah, aku juga.


Betty Suarez adalah seorang siswi yang sangat 'terkenal'. Terkenal dengan tubuhnya yang 'subur', giginya yang 'berpagar', poninya yang bagai gorden, dan tak lupa prestasinya sebagai siswi teladan yang selalu absen dari pesta-pesta sekolah (karena nggak ada cowo yang ngajak), dan terkenal sebagai wartawan koran sekolah yang nyaris nggak punya teman. Tapi Betty bukan sekadar siswi kuper. Dia pernah mendapat penghargaan sebagai warga teladan. Hebatnya lagi, piala itu dia kembalikan buat dipajang di lemari sekolah, supaya teman-nya bisa ikut menikmati dan bangga karenanya. Hebat ya... sungguh mulia hatinya...

10 tahun kemudian, sahabat Betty, Gio, berkomentar:
"Pasti capek jadi kamu. Kamu cuma mikirin buat ngelakuin apa yang seharusnya kamu lakukan - bukan apa yang kamu inginkan. Dalam hati yang terdalam sebenernya kamu ingin nyimpen penghargaan itu, kan?"

Ya... itu episode serial Ugly Betty kemaren. Salah satu serial yang aku tungguin tiap minggunya. Dan waktu si Gio ngomon gitu, bukan cuma Betty yang tertohok, aku juga.

Dari kecil, aku memang terbiasa jadi anak baik. Mamaku bilang dia nggak pernah marahin aku karena emang aku nggak pernah bikin salah. Sampe umur 21 ini memang sepertinya aku selalu jadi anak baik-baik karena memang aku nggak suka jadi orang yang bikin salah. Aku menikmati jadi orang yang 'baik-baik'.

Begitu juga ketika aku jadi orang Kristen, jadi anak Tuhan. Ada masa-masa (seperti sekarang ini) di mana aku nggak tahu lagi di mana rasa cintaku pada Tuhan.
Aku melakukan apa yang Dia mau cuma karena aku suka Dia memandangku sebagai 'anak baik-baik'. Aku cuma ingin image baik di hadapan-Nya (dan di hadapan orang-orang Kristen lain mungkin).

Dan tahu apa yang aku dapet?
Aku ngerasa cape. Cape karena tuntutan anak baik-baik tuh banyak banget. Cape karena aku harus memenuhi kemauan banyak orang. Cape karena ternyata bukan itu yang aku inginkan, tapi harus aku lakukan.

Aku udah lupa gimana rasanya melakukan sesuatu yang baik karena aku mencintai Dia.

Menyenangkan orang lain sebenernya bentuk dari mencari 'keamanan' diri sendiri. Terus-menerus melakukannya cuma bakal bikin cape.
Akan beda jadinya ketika kita menyenangkan orang karena kita mengasihi mereka, dan kita mengasihi mereka karena kita mengasihi Tuhan dan kita tahu Dia tersenyum ketika kita mengasihi orang lain. Terus-menerus melakukannya cuma bakal bikin kita bahagia.

Tuesday, October 14, 2008

Kelas 5 SD Kamu Ngapain?

Kelas 5 SD

Aku udah mulai lancar ngomong lu-gue
Aku udah mulai ngerasain naksir dan ditaksir cowo
Aku udah mulai punya geng main bareng
Aku suka baca dan pinjem-pinjeman komik serial cantik dan misteri
Aku mulai mikirin soal diet

Kelas 5 SD, yang aku pikirin cuma aku, temen-temenku, nilaiku, semua tentang aku.

Seperti banyak orang lain yang terinspirasi Laskar Pelangi, aku lumayan tersentuh dengan kisah hidupnya Lintang.
Seorang anak yang dari kecil udah menaruh mimpi dan cita-citanya setinggi bintang, dengan modal otak yang super pinter, tapi harus putus sekolah di kelas 5 SD.
Di kelas 5 SD, dia haru jadi tumpuan hidup adik-adiknya.

Dibanding dia, waktu kelas 5 SD, aku cuma bisa mikirin diriku. Jadi merasa sangat bersyukur, sekaligus malu.

Kalo kamu, kelas 5 SD kamu ngapain?

Thursday, October 2, 2008

Nilaiku=3... ehem?!

Kemaren baru pulang BCR (Bible Camp Remaja) and it's so amazing (and relaxing). Aku banyak dapet pencerahan, ngerasain lagi kasih Tuhan, dan muali bergairah lagi sama bible (Seblomnya smpet males2an juga sama buku itu).

Di sesi pertama, Ka Nicky ngebuka dengan ngelempar pertanyaan.
"Dari skala 1-10, Berapa nilaimu dalam hal pengenalan akan Allah?"

Jawaban peserta macem-macem, ada di sekitar 4-8.
Buatku sendiri, jawaban pertama-tama yang spontan terlintas adalah 5.
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku ga sebagus itu dan aku menilai diriku paling-paling nilainya 3 aja.

Saat itu aku jadi sadar, saat kita makin deket sama seseorang, semakin kita akan ngerasa nggak kenal orang itu.

Bener kan? Untuk orang-orang yang ga terlalu deket, kita pasti bisa kasi opini tentang mereka dengan mudahnya. Entah itu ganteng, cantik, sabar, baik hati, galak, pemarah, tegas, rese, ato apa aja. Tentu aja, karena yang kita lihat adalah sisi-sisi yang paling dominan dari orang itu.
Tapi saat kita udah makin deket, kita makin kenal sisi complicated dari orang itu. Kita makin kenal kejelekan dan kebaikannya sampai yang kecil-kecil. Makin lama jadi makin susah buat mendeskripsikan orang itu, saking banyaknya detail yang kita kenal.

Ternyata itu berlaku juga buat Pacar Pertamaku.
Dulu, mungkin aku cuma mikir Dia itu baik, mahatahu, penyayang, penuh kasih, adil, dan mahakuasa. Sebagai gadis kecil yang rajin sekolah minggu, aku ngerasa cukup kenal Dia. Dan kalo aku ditanya berapa nilaiku dalam pengenalanku akan Dia, mungkin dulu aku bakal dengan pedenya jawab 8.

Tapi sekarang, setelah makin aku makin dewasa, makin banyak pengalaman bersama Dia, makin banyak jatuh bangun hubungan dengan Dia, makin banyak sisi yang aku kenal tentang Dia.
Dia nggak cuma baik tapi juga humoris. Dia nggak cuma penyayang, tapi juga suka memberi kejutan. Dia nggak cuma lemah lembut, tapi juga romantis. Dia kadang-kadang galak, tapi juga gaul. Dia bisa jadi pemimpin yang sangat berwibawa tapi juga bisa jadi sosok yang bikin jatuh cinta.

Ternyata terlalu banyak detail yang Dia miliki, dan aku jadi semakin yakin Dia jauuuuuuh lebih complicated dari itu (udah pasti dong). Semakin aku berusaha kenal Dia dan punya banyak pengalaman dengan Dia, aku tahu ternyata aku masih sangat nggak kenal Dia.
Karena itu semua, aku ngerasa aku 'cuma' boleh dapet nilai 3.

Dan...

Akhirnya temenku tanya ke Ko Nicky, si pembicara retreat yang berlatar belakang skolah alkitab, sekaligus orang yang awalnya melontarkan pertanyaan ini,
"Ko, kalo koko sendiri menilai diri koko berapa nilainya?"

Ko Nicky: "Saya mungkin 3,3."

Hey, Dina! Pemikiranmu sepertinya benar!