Monday, November 3, 2008

Bang Evan, Buka Bajumu!

Nah, lo... Evan mana yang kusuruh buka baju???

Evan Baxter, aku 'kenalan' dengannya hari Sabtu kemarin. Yah, dia tuh tokoh utama film Evan Almighty, sekuel dari film sukses, Bruce Almighty. Buat yang belom pernah nonton, nih sinopsisnya.


Evan Baxter adalah seorang anchor berita dengan karir OK sampe akhirnya ia berhenti kerja buat jadi seorang anggota kongres. Yah, hidupnya makin sempurna aja. Lengkap dengan istri dan 3 anak laki-lakinya, ia pindah ke rumah besar di real estate baru di daerah perbukitan.
Suatu malam
, ia berdoa agar Tuhan membuat keluarganya makin dekat satu sama lain. Singkat cerita, Tuhan datang dalam wujud manusia, menyuruh Evan membangun bahtera besar karena pada 22 September akan datang banjir.
Awalnya Evan menolak d
an menganggapnya gila. Sampai beratus pasang hewan mengikutinya kemana-mana, dan akhirnya ia menyerah.
Evan membangung bahtera sambil terus bekerja jadi anggota kongres. Sementara itu, janggut dan kumis
nya tambah lebat tanpa bisa dicukur. Puncaknya, Tuhan mengirimkannya jubah (serupa jubah tokoh-tokoh alkitab di gambar-gambar) yang nggak bisa dia lepas. Tiap kali dia ganti dengan baju lain, bajunya bakal otomatis kebuka.

Yak, sampai di situ aja sinopsisnya, silahkan nonton sendiri.
Sementara ini, baca tulisanku dulu. :D

Waktu sampai di adegan Tuhan ngasih Evan jubah, aku mulai mengkritisi film ini dalam hati.
"Ah, filmnya makin mengada-ngada. Masa Tuhan kasih perintah konyol buat pake jubah gitu. Itu kan nyusahin perannya sebagai anggota kongres. Janggutnya juga terasa gak ada gunanya. Gak mungkin kan Tuhan kasih perintah cuma buat lucu-lucuan kayak gitu."

Tapi, sekejap kemudian, malah timbul pemikiran lain yang sebaliknya. (Dan aku yakin ini pekerjaan Roh Kudus juga buat kasih aku hikmat baru).
Keliatannya memang konyol. Tapi jas dan dasi serta kerapihan buat seorang
Evan bukan sekadar baju, tapi identitas diri. Evan digambarkan sebagai seorang pria yang selalu rapi jali. Dan sebagai anggota kongres, jas jadi baju wajib.

Ketika dia menerima panggilan Tuhan, dia harus melepaskan identitas la
manya, egonya, untuk menggantinya sesuai identitas yang Tuhan mau (yang digambarkan dengan jenggot dan jubah).

Kita mungkin berpikir itu nyusahin. Kenapa Tuhan gak
mengijinkan jubah itu dipake cuma kalo lagi ngebangun bahtera aja? Toh, Evan udah sangat humble dengan nurut mau bikin bahtera kan?
Kenapa Tuhan gak mempermudah Evan menjalankan perannya sebagai anggota kongres?

Justru itu! Kita juga sering kayak gitu kan. Di tengah-tengah rekan sepelayanan, semisi, seiman, di tengah-tengah kita melakukan pekerjaan Tuhan, kita punya identitas baru yang kudus, yang rohani, yang baik-baik.
Tapi, sadar gak sadar, waktu kita pindah ke lingkungan lain, kita seringkali berusaha ngelepas identitas tadi untuk suatu identitas lain demi sebuah penerimaan.

'Aku gak bisa terlalu vokal menentang temen-temenku di sini. Mereka gak kenal Tuhan, nanti aku dimusuhin dan mereka malah jadi defense.'
'Mereka becanda jorok, aku nggak suka dengernya. Tapi maklumlah, mereka kan gak kenal Tuhan, ketawa aja deh.'
'Aduh, aku harus cari ayat nih buat kebaktian Minggu besok. Mm... ada yang liat gak, ya? Atau aku cari di WC aja?'

yah, mungkin itu contoh-contoh kadang kita membuang identitas anak Allah kita demi identitas yang lain, demi sebuah penerimaan. Bahkan kadang dibungkus oleh alasan yang terdengar sangat rohani.


Ada satu adegan simple yang berkesan. Ketika itu Evan baru keluar dari kamar mandi dengan jubahnya. Joan, istrinya, bertanya dengan kebingungan.
"Kenapa kamu pake baju kayak gitu? Dan kenapa kamu nggak cukur jenggotmu"
"Serius, aku nggak bisa mencukurnya! Dan aku pake baju ini karena nyaman."

Walaupun identitas anak Allah kadang keliatan nggak enak, dan aneh buat dilihat orang lain, percayalah, sekali kita masuk ke dalamnya, kita nggak bisa keluar lagi dan kita nggak akan menemukan identitas yang lebih bisa membuat nyaman daripada identitas itu.

So, berani 'buka baju'?


Keterangan
Aku membuat tulisan ini berdasarkan interpretasi dan perenungan pribadi. Aku nggak tau apa sebenarnya yang menjadi dasar pemikiran dari pembuat film ini.
Dan yang kumaksud nyaman dengan identitas anak Allah bukan berarti hidup senang senantiasa (Evan juga digambarkan hidupnya makin penuh tantangan sejak mengikuti Tuhan) tapi nyaman karena kita tahu kita menyenangkan Dia.




No comments:

Post a Comment